Pengelolaan wilayah perbatasan dalam rangka menjaga keutuhan NKRI-Negara Kesatuan Republik Indonesia, menjadi salah satu topik bahasan dalam sebuah seminar Kamis (31/5/2012) di Hotel Borobudur, Jakarta.
Dalam seminar yang bertajuk "Mengembangkan Pembangunan Ekonomi di Daerah Perbatasan NKRI", di luar dugaan mengemuka demikian banyaknya persoalan. Ironisnya persoalan-persoalan itu kelihatannya tidak banyak dipahami oleh para pemangku kepentingan apalagi masyarakat umum.
Sebagai contoh sebuah lembaga di bawah Kementerian Dalam Negeri bernama Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP), sudah lama dibentuk melalui Undang-Undang. Pimpinannya pun seorang jenderal. Tetapi lembaga ini sepertinya tidak mendapat dukungan politik dari pemerintah.
Kalau sudah begitu, jangankan bicara soal dana pendukung, konsep dan pemikiran yang dibuat para ahli di lembaga itu, tidak pernah dianggap penting apalagi digunakan. Salah satu isu yang mendapat perhatian cukup besar adalah soal perbatasan darat antara Indonesia dan Malaysia di sepanjang Kalimantan.
Menurut Wakil Gubernur Kalimantan Barat, Arisandi Sanjaya, masyarakat Dayak Iban sebagai penduduk asli pulau Kalimantan, mempunyai tali persaudaran yang sangat kuat. Kalimantan, secara tradisional hanya dihuni oleh masyarakat Dayak.
Akan tetapi akibat pemisahan wilayah antara tiga negara: Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam, maka masyarakat Dayak itupun akhirnya bermukim di wilayah tiga negara. Namun walaupun mereka berbeda kebangsaann, tali kekeluargaan mereka, tetap tidak bisa dipisahkan.
Mereka pun tetap menjalin hubungan persaudaraan tanpa merasa ada hambatan akibat kewarganegaraan yang tidak sama. Itu sebabnya tidak heran jika di antara masyarakat Dayak yang tinggal di perbatasan, terjadi kontak yang cukup banyak sebagai sesama saudara.
Mereka juga memiliki semacam "negara" sendiri. Sebab selain Majelis Nasional, Dayak Iban juga punya presiden sendiri yang mereka pilih bersama. Presiden Dayak saat ini dijabat oleh Teras Narang, Gubernur Kalimantan Tengah.
Dengan latar belakang tersebut, pejabat pemda Kalbar itu secara tersirat menegaskan, kekurang pahaman para pengambil keputusan di Jakarta, tentang latar belakang budaya masyarakat di Kalimantan, berakibat munculnya aturan-aturan yang sulit diterapkan di daerah mereka.
Atau memaksa masyarakat Indonesia yang tinggal di perbatasan agar hanya melakukan transaksi bisnis dengan sesama WNI, merupakan hal yang mustahil. Sama sulitnya dengan memaksa mereka hanya menggunakan mata uang rupiah dan bukan ringgit Malaysia.
Tertinggalnya pembangunan infrastruktur di wilayah Indonesia, merupakan salah satu kendala besar. Sebab di pihak lain, pembangunan wilayah perbatasan di Malaysia, jauh lebih maju. Tidak jarang masyarakat (Dayak) Indonesia yang memerlukan perawatan kesehatan, lebih memilih ke Malaysia sebab di sana mereka punya keluarga dan fasilitasnya pun jauh lebih memadai.
Membangun perbatasan di wilayah Kalimantan Barat saja, sudah merupakan sebuah persoalan tersendiri. Selain wilayahnya yang luas, daerahnya juga masih sangat menantang.
Di Ibukota DKI Jaya misalnya, anggaran Rp1 miliar mungkin bisa memperbaiki jalan sepanjang 16 km. Tetapi di daerah yang masih kawasan 'perawan' tersebut untuk membangun jalan sepanjang 1 km, mungkin dibutuhkan biaya paling sedikit Rp16 miliar.
Di daerah perbatasan Kalimantan Barat, juga terdapat lokasi yang memiliki deposit batubara yang volumenya cukup besar. Tetapi kalau batubara itu harus diangkut terlebih dahulu melalui darat ke pelabuhan Pontianak, baru dijual ke luar negeri, biaya angkutnya akan jauh lebih mahal dibanding harga jualnya. Sebaliknya jika batubara itu dijual melalui pelabuhan di wilayah Malaysia, penjualannya lebih menguntungkan.
Seminar yang diselenggarakan majalah internal Lemhanas, Telstra dan Bank Indonesia itu, juga menyinggung soal gerakan cinta rupiah yang dilakukan di wilayah perbatasan. Sebab persoalan rupiah yang ada di perbatasan Kalimantan, kurang lebih sama dengan di daerah Miangas, Sulawesi Utara yang berbatasan dengan Filipina ataupun di Merauke, Papua yang berbatasan dengan Papua Nugini.
Pandangan yang berkembang, gerakan cinta rupiah, sebagai sebuah teori dalam rangka membangun kesadaran dalam NKRI, tetap penting. Akan tetapi diperlukan modifikasi dan kecerdasan para pelaksana di lapangan bagaimana mengimplementasikannya.
Seorang Kepala Perwakilan Bank Indonesia di Papua dan Papua Barat mengungkapkan di pulau paling Timur itu, banyak persoalan mendasar yang tidak dipahami elit Jakarta. Misalnya Bank Indonesia harus cerdas dalam mengatur peredaran rupiah di daerah terpencil sekalipun. Jangan sampai terjadi kekosongan rupiah yang dampaknya negatif bagi citra NKRI.
Persoalan lain di daerah-daerah terisolir, pemerintah membangun pasar bagi masyarakat setempat. Tujuannya baik. Namun pejabat yang menyusun konsep itu tidak paham bahwa semua pasar terisolir di pulau tersebut, dikuasai oleh Kepala Suku. Masyarakat tidak akan berani menjual barang dagangan mereka di luar "pasar" yang dikuasai oleh Kepala Suku. Akibatnya pasar yang dibangun dan dibiayai pemerintah itu pada akhirnya menjadi "idle".
Pengalaman lain di Merauke. Saking terpencilnya wilayah tersebut, pejabat di Jakarta tidak tahu bahwa masyarakat Papua Nugini yang tinggal dekat Merauke, justru datang meminta bantuan ke pemerintah di Kabupaten Merauke agar dapat membangun sekolah dan puskemas di wilayah Papua Nugini. Ini artinya rakyat di perbatasan itu, tidak memahami soal perbedaan kewarganegaraan kedua masyarakat.
Sebuah ceritera singkat disampaikan oleh seorang pejabat Kementerian Pertahanan. Bahwa saking minimnya pemahaman tentang wilayah perbatasan, banyak yang tidak tahu bahwa di daerah perbatasan terdapat pulau-pulau kecil yang tidak punya nama.
Dan yang lebih mengejutkan lagi, akibat pemanasan global, menurut catatan Kemhan, terdapat 24 buah pulau milik Indonesia yang tenggelam. "Yah kehilangan 24 pulau itu kan dianggap tidak masalah, sebab pulau kita lebih dari 17.000 buah," kata pejabat tersebut berseloroh.
Sementara Jenderal (purn) Agum Gumelar, Ketua Alumni Lemhanas meminta perhatian dari pemerintah agar memperhatikan secara serius masalah perbatasan. "Empat puluh dua tahun lalu, saya bertugas di perbatasan Kalimantan. Saya dengar di seminar ini, persoalan sama masih tetap ada. Jangan sampai terjadi, 42 tahun lagi, cucu saya akan berbicara hal yang sama tentang persoalan perbatasan," ujar mantan Danjen Kopassus tersebut yang isterinya menjabat Menteri. | Inilah.com
Dalam seminar yang bertajuk "Mengembangkan Pembangunan Ekonomi di Daerah Perbatasan NKRI", di luar dugaan mengemuka demikian banyaknya persoalan. Ironisnya persoalan-persoalan itu kelihatannya tidak banyak dipahami oleh para pemangku kepentingan apalagi masyarakat umum.
Sebagai contoh sebuah lembaga di bawah Kementerian Dalam Negeri bernama Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP), sudah lama dibentuk melalui Undang-Undang. Pimpinannya pun seorang jenderal. Tetapi lembaga ini sepertinya tidak mendapat dukungan politik dari pemerintah.
Kalau sudah begitu, jangankan bicara soal dana pendukung, konsep dan pemikiran yang dibuat para ahli di lembaga itu, tidak pernah dianggap penting apalagi digunakan. Salah satu isu yang mendapat perhatian cukup besar adalah soal perbatasan darat antara Indonesia dan Malaysia di sepanjang Kalimantan.
Menurut Wakil Gubernur Kalimantan Barat, Arisandi Sanjaya, masyarakat Dayak Iban sebagai penduduk asli pulau Kalimantan, mempunyai tali persaudaran yang sangat kuat. Kalimantan, secara tradisional hanya dihuni oleh masyarakat Dayak.
Akan tetapi akibat pemisahan wilayah antara tiga negara: Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam, maka masyarakat Dayak itupun akhirnya bermukim di wilayah tiga negara. Namun walaupun mereka berbeda kebangsaann, tali kekeluargaan mereka, tetap tidak bisa dipisahkan.
Mereka pun tetap menjalin hubungan persaudaraan tanpa merasa ada hambatan akibat kewarganegaraan yang tidak sama. Itu sebabnya tidak heran jika di antara masyarakat Dayak yang tinggal di perbatasan, terjadi kontak yang cukup banyak sebagai sesama saudara.
Mereka juga memiliki semacam "negara" sendiri. Sebab selain Majelis Nasional, Dayak Iban juga punya presiden sendiri yang mereka pilih bersama. Presiden Dayak saat ini dijabat oleh Teras Narang, Gubernur Kalimantan Tengah.
Dengan latar belakang tersebut, pejabat pemda Kalbar itu secara tersirat menegaskan, kekurang pahaman para pengambil keputusan di Jakarta, tentang latar belakang budaya masyarakat di Kalimantan, berakibat munculnya aturan-aturan yang sulit diterapkan di daerah mereka.
Atau memaksa masyarakat Indonesia yang tinggal di perbatasan agar hanya melakukan transaksi bisnis dengan sesama WNI, merupakan hal yang mustahil. Sama sulitnya dengan memaksa mereka hanya menggunakan mata uang rupiah dan bukan ringgit Malaysia.
Tertinggalnya pembangunan infrastruktur di wilayah Indonesia, merupakan salah satu kendala besar. Sebab di pihak lain, pembangunan wilayah perbatasan di Malaysia, jauh lebih maju. Tidak jarang masyarakat (Dayak) Indonesia yang memerlukan perawatan kesehatan, lebih memilih ke Malaysia sebab di sana mereka punya keluarga dan fasilitasnya pun jauh lebih memadai.
Membangun perbatasan di wilayah Kalimantan Barat saja, sudah merupakan sebuah persoalan tersendiri. Selain wilayahnya yang luas, daerahnya juga masih sangat menantang.
Di Ibukota DKI Jaya misalnya, anggaran Rp1 miliar mungkin bisa memperbaiki jalan sepanjang 16 km. Tetapi di daerah yang masih kawasan 'perawan' tersebut untuk membangun jalan sepanjang 1 km, mungkin dibutuhkan biaya paling sedikit Rp16 miliar.
Di daerah perbatasan Kalimantan Barat, juga terdapat lokasi yang memiliki deposit batubara yang volumenya cukup besar. Tetapi kalau batubara itu harus diangkut terlebih dahulu melalui darat ke pelabuhan Pontianak, baru dijual ke luar negeri, biaya angkutnya akan jauh lebih mahal dibanding harga jualnya. Sebaliknya jika batubara itu dijual melalui pelabuhan di wilayah Malaysia, penjualannya lebih menguntungkan.
Seminar yang diselenggarakan majalah internal Lemhanas, Telstra dan Bank Indonesia itu, juga menyinggung soal gerakan cinta rupiah yang dilakukan di wilayah perbatasan. Sebab persoalan rupiah yang ada di perbatasan Kalimantan, kurang lebih sama dengan di daerah Miangas, Sulawesi Utara yang berbatasan dengan Filipina ataupun di Merauke, Papua yang berbatasan dengan Papua Nugini.
Pandangan yang berkembang, gerakan cinta rupiah, sebagai sebuah teori dalam rangka membangun kesadaran dalam NKRI, tetap penting. Akan tetapi diperlukan modifikasi dan kecerdasan para pelaksana di lapangan bagaimana mengimplementasikannya.
Seorang Kepala Perwakilan Bank Indonesia di Papua dan Papua Barat mengungkapkan di pulau paling Timur itu, banyak persoalan mendasar yang tidak dipahami elit Jakarta. Misalnya Bank Indonesia harus cerdas dalam mengatur peredaran rupiah di daerah terpencil sekalipun. Jangan sampai terjadi kekosongan rupiah yang dampaknya negatif bagi citra NKRI.
Persoalan lain di daerah-daerah terisolir, pemerintah membangun pasar bagi masyarakat setempat. Tujuannya baik. Namun pejabat yang menyusun konsep itu tidak paham bahwa semua pasar terisolir di pulau tersebut, dikuasai oleh Kepala Suku. Masyarakat tidak akan berani menjual barang dagangan mereka di luar "pasar" yang dikuasai oleh Kepala Suku. Akibatnya pasar yang dibangun dan dibiayai pemerintah itu pada akhirnya menjadi "idle".
Pengalaman lain di Merauke. Saking terpencilnya wilayah tersebut, pejabat di Jakarta tidak tahu bahwa masyarakat Papua Nugini yang tinggal dekat Merauke, justru datang meminta bantuan ke pemerintah di Kabupaten Merauke agar dapat membangun sekolah dan puskemas di wilayah Papua Nugini. Ini artinya rakyat di perbatasan itu, tidak memahami soal perbedaan kewarganegaraan kedua masyarakat.
Sebuah ceritera singkat disampaikan oleh seorang pejabat Kementerian Pertahanan. Bahwa saking minimnya pemahaman tentang wilayah perbatasan, banyak yang tidak tahu bahwa di daerah perbatasan terdapat pulau-pulau kecil yang tidak punya nama.
Dan yang lebih mengejutkan lagi, akibat pemanasan global, menurut catatan Kemhan, terdapat 24 buah pulau milik Indonesia yang tenggelam. "Yah kehilangan 24 pulau itu kan dianggap tidak masalah, sebab pulau kita lebih dari 17.000 buah," kata pejabat tersebut berseloroh.
Sementara Jenderal (purn) Agum Gumelar, Ketua Alumni Lemhanas meminta perhatian dari pemerintah agar memperhatikan secara serius masalah perbatasan. "Empat puluh dua tahun lalu, saya bertugas di perbatasan Kalimantan. Saya dengar di seminar ini, persoalan sama masih tetap ada. Jangan sampai terjadi, 42 tahun lagi, cucu saya akan berbicara hal yang sama tentang persoalan perbatasan," ujar mantan Danjen Kopassus tersebut yang isterinya menjabat Menteri. | Inilah.com